KONTROVERSINYA AL HAJJAJ BIN YUSUF ATS TSAQAFI
Penulis: Azwirman, S.Pd
Mendengar nama Al Hajjaj bin Yusuf tentu tidak se familiar nama seperti Umar bin Abdul Aziz atau Abdul Malik bin Marwan atau Sulaiman bin Abdul Malik. Terang saja, sebab Tiga nama terakhir yang saya sebutkan merupakan para khalifah/ pemimpin yang cukup terkenal di pemerintahan dinasti Umayyah yang berpusat di Damaskus.
Mereka adalah para tabi’in (generasi awal setelah para sahabat) dimana para khalifah dinasti umayyah hanya Muawiyah bin abu sufyan saja yang merupakan sahabat nabi, setelahnya adalah generasi para tabi’in termasuk Khalifah Umar bin abdul Aziz yang sangat masyur namanya itu.
Kembali ke Hajjaj bin yusuf. Ia bukan bagian dari rangkaian para pemimpin bani Umayyah. Jabatan tertingginya adalah menteri pertahanan, pernah jadi gubernur di wilayah (Kuffah, Irak) Lahir pada awal juni 661 M/ 40 H di Thaif, hejaz. Meninggal pada tahun 714 M ketika berusia 53 tahun. Sebagai menteri pertahanan di zaman bani Umayah ia jabat di era Abdul Malik bin Marwan, dan ini adalah puncak jabatannya di Pemerintahan hingga ia wafat.
Sungguhpun demikian, nama Hajjaj bin Yusuf di masa itu tidak kalah terkenal dibandingkan dengan nama-nama khalifah bani Umayyah yang disebutkan diatas tadi. Terkenalnya Hajjaj bin yusuf bukan karena kejeniusannya, kealimannya, atau keberaniannya. Terkenalnya Hajjaj bin Yusuf justru karena sosoknya sangat kontroversial.
Kalau di ibaratkan, seperti Patih Gajah Mada dan Hayam Wuruk. Meskipun yang jadi Raja adalah Hayam Wuruk akan tetapi nama Gajah Mada lebih familiar dibandingkan dengan Hayam Wuruk bahkan hingga hari ini. Di kota-kota besar nama Jalan Gajah Mada, biasanya berada di pusat kota dan menjadi jalan utama dibandingkan dengan jalan Hayam Wuruk.
Kontroversinya seseorang disebabkan karena ada dua sisi kepribadian atau karakter yang bertentangan namun berkumpul di dalam satu diri seseorang. Dan Hajjaj adalah seorang pribadi yang memiliki dua karakter yang bertolak belakang.
Pertama, Dia dikenal sebagai seorang penguasa yang cerdas namun keras dan kejam. Terutama saat menjabat sebagai gubernur di Kuffah (Irak) Disebutkan dia telah bertanggung jawab atas kematian ribuan jiwa. Bahkan ada riwayat yang mengatakan bahwa, kalau dikumpulkan semua orang yang telah ia bunuh dan eksekusi selama ia jadi gubernur dan jadi menteri, ada lebih kurang 100.000 orang yang telah mati ditangannya.
Ketika Hajjaj bin Yusuf lahir, baru saja Muawiyah bin abi Sufyan di baiat menjadi pemimpin umat islam (khalifah) yang menggantikan kepemimpinan Hasan bin Ali bin abi thalib ra. Semasa kepemimpinan Muawiyah bin abi Sofyan yang berpusat di Damaskus, selama dua puluh tahun memimpin kondisi politik umat islam relatif aman dan damai, nyaris tidak ada riak sama sekali dalam tubuh umat islam.
Karena wilayah islam relatif dalam keadaan aman, maka usaha-usaha perluasan pengaruh islam semakin mengalami perkembangan yang cukup pesat. Baik ke timur, utara maupun wilayah barat.
Ketika Muawiyah wafat tahun 60 Hijriyah, kepemimpinan dilanjutkan oleh anaknya Yazid Bin Muawiyah. Hal ini memicu polemik dan kegaduhan terutama di Hijaz (Mekah dan Madinah) para sahabat yang masyur seperti Abdullah ibnu Umar, Abdullah bin Abbas, Abdullah bin Zubair, Husein bin Ali bin abi thalib ra tidak menerima keputusan Muawiyah dan menolak untuk membaiat.
Singkatnya terjadilah dua peristiwa berdarah semasa pemerintahan Yazid bin Muawiyah, pertama terbunuhnya Husein bin Ali di Karbala, kedua peristiwa Harran, yaitu penyerangan yang dilakukan oleh tentara Yazid bin Muawiyah ke Madinah yang mengakibatkan terbunuhnya lebih dari 1000 kaum muslimin termasuk beberapa orang sahabat nabi. Hal ini terjadi karena Yazid punya watak yang jauh berbeda dengan ayahnya, Muawiyah dalam menghadapi penduduk madinah.
Kita tahu bahwa, Muawiyah adalah sosok yang tenang dan sabar dalam menghadapi situasi politik yang sangat pelik. Hal ini terbukti dengan tampilnya beliau menggantika Hasan bin Ali sebagai khalifah dan memindahkan kekuasaan islam ke Damaskus, yang sebelumnya ada di Madinah.
Selama berkuasa, beliau orang yang tidak gegabah dalam menghadapi lawan politiknya, terutama penduduk Madinah. Muawiyah sebenarnya sudah memperingatkan anaknya Yazid sewaktu masih hidup agar dalam menghadapi penduduk Madinah harus menggunakan pendekatan soft power, bukan dengan jalan pedang dan kekerasan. Namun, hal ini tidak bisa dilakukan oleh Yazid, ia justru melakukan kekuatan militer dalam menghadapi kelompok yang dia anggap merongrong kekuasaanya.
Tiga tahun memerintah, Yazid wafat dan digantikan oleh anaknya Muawiyah bin yazid. Namun, ini tidak berlangsung lama sebab Muawiyah bin yazid punya watak yang berbeda dengan ayahnya dan juga kakeknya. Ia lebih senang menyibukkan diri dengan ibadah dan tidak peduli dengan tugas kepemimpinan. Hal inilah yang membuat Marwan bin Hakam “turun gunung” dan mencoba menyelesaikan kegentingan kekuasaan klan bani Umayyah.
Sejak terbunuhnya Husein bin ali dan peristiwa Harran membuat kekuasaan bani Umayyah senantiasa tidak stabil karena ancaman kelompok yang tidak suka bahkan membenci kekuasaan bani Umayyah terutama di Kuffah.
Sementara di Madinah, gerakan Abdullah bin Zubair demi melihat kekuasaan bani Umayyah makin melemah terutama setelah kematian Yazid bin Muawiyah, memanfaatkan momentum ini dengan mendeklarasikan kekhalifahan di Madinah dan didukung oleh banyak tokoh dari kalangan para sahabat.
Dualisme kepemimpinan ini (Damaskus dan Hijaz) berlangsung selama tahun 64 H-73 H hingga akhirnya Abdul Malik bin Marwan (pengganti Marwan bin Hakam) menemukan sosok Hajjaj bin yusur yang waktu itu masih berusia muda (25 tahun) memimpin penumpasan gerakan Abdullah bin Zubair. Akhirnya dalam sebuah pertempuran Abdullah bin Zubair wafat dan berakhirlah dualisme kepemimpinan itu.
Sejak saat itulah pemerintahan bani Umayyah menggunakan pendekatan “tangan besi” dalam masa pemerintahannya terutama dilakukan dengan menggunakan “tangan kanan” yang bernama Hajjaj bin yusuf.
Usia 25 tahun Hajjaj bin Yusuf pasca kemenangan melawan kelompok Abdullah bin Zubair, ia ditunjuk sebagai gubernur Hijaz. Bukan apa-apa karena Khalifah di Damaskus masih menganggap Hijaz merupakan wilayah yang paling penting terutama dalam melegitimasi kekuasaannya.
Menjadi gubernur di Hijaz keberadaan Hajjaj bin yusuf tentu saja tidak disukai oleh penduduk Hijaz. Ia dikenal sangat kejam dan keji terutama dalam menghukum orang-orang yang ia curigai. Bahkan kesalah sedikit saja ia tidak segan-segan membunuh.
Dia tidak peduli dengan siapa yang di bunuhnya. Ulama, rakyat biasa, tokoh masyarakat atau orang terpandang seperti bangsawan sekalipun. Ia melakukan itu dengan alasan demi menghilangkan ancaman dan rongrongan pihak pemberontak terhadap kekuasaan bani Umayyah.
Namun keberadaanya di Madinah tidak berlangsung lama, karena ada Umar bin abdul Aziz yang ditunjuk menjadi gubernur mengantikannya di Madinah (hijaz) dan dibawah gubernur Umar bin abdul aziz, penduduk Madinah dalam kondisi yang nyaman terbebas dari ancaman kekejaman Hajjaj bin Yusuf.
Pasca menjadi Gubernur di Hijaz, Hajjaj bin yusuf ditunjuk menjadi gubernur di Irak. Di Irak ia menjadi gubernur sangat lama, lebih dari 20 tahun dan selama itu pulalah rakyat Irak berada dibawah tekanan dan terror yang mengerikan dari Hajjaj dan tentaranya. Selama dua puluh tahun menjadi gubernur di Irak membuat rakyat Irak menderita, menderita dalam artian bukan urusan ekonomi akan tetapi pembatasan yang sangat ketat terhadap semua gerak gerik yang mencurigakan yang punya tujuan untuk memberontak.
Setelah menjadi gubernur di Irak, menjelang kematiannya (93 H) ia menjadi menteri pertahanan pemerintahan bani Umayyah dan membuat sebuah keputusan wajib militer bagi seluruh penduduk Syam laki-laki dewasa. Dampaknya luar biasa, kekuatan militer bani Umayyah sangat ditakuti baik oleh para pemberontak (khawarij) dan Byzantium.
Dia meyakinkan Khalifah Abdul Malik bin Marwan untuk menggunakan mata uang khusus bagi dunia Islam. Hal yang memicu perang dengan Kekaisaran Byzantium di bawah kekuasaan Yustinianus II. Pasukan Bizantium yang dipimpin oleh Leontios secara meyakinkan dapat dikalahkan pada pertempuran Sebastopolis tahun 692.
Imam Adz-Dzahabi berkata tentang Al-Hajjaj bin Yusuf ats-Tsaqafi:
“Al-Hajjaj, Allah memusnahkannya di bulan Ramadhan tahun 95 Hijrah dalam keadaan tua, dan dia adalah seorang yang zhalim, bengis, naashibi (pembenci Ahlul Bait), keji, suka menumpahkan darah, memiliki keberanian, kelancangan, tipu daya, dan kelicikan, kefasihan, ahli bahasa, dan kecintaan terhadap Al-Qur'an. Aku (Imam Adz-Dzahabi) telah menulis tentang sejarah hidupnya yang buruk dalam kitabku At-Tarikh al-Kabir, mengenai pengepungannya terhadap Ibnu az-Zubair dan Ka’bah, serta perbuatannya melempar Ka’bah dengan manjaniq, penghinaannya terhadap penduduk Al-Haramain (dua tanah haram [berarti suci]), penguasaannya terhadap Irak dan wilayah timur, semuanya selama 20 tahun. Juga peperangannya dengan Ibnul Asy’ats, sikapnya melambat-lambatkan menunaikan salat, sehingga Allah mematikannya, maka kami mencelanya, dan kami tidak mencintainya, sebaliknya kami membencinya karena Allah.”
— Siyar A’lam An Nubala’, 4/343
Namun ia juga dikenal sebagai orang yang menghormati Al-Qur'an dan berjasa dalam perluasan wilayah dinasti Umayyah. Inilah mengapa Hajjaj bin yusuf itu seorang tokoh yang sangat kontroversi.
Aslinya dia sebelum terjun ke dunia politik dan pemerintahan adalah seorang yang alim yang disibukkan dengan menggali ilmu dan mengajarkan ilmu kepada orang banyak. Persis seperti Umar bin abdul Aziz yang sebelum menjadi pejabat merupakan ulama yang masyur di kalangan tabi’in.
Dia bahkan seorang penghafal Alqur’an 30 Juz, suka memberi kepada orang yang ahli Alqur’an, dan juga ia terkenal zuhud dan tidak punya harta yang banyak bahkan menjelang kematiannya diriwayatkan ia mati dalam keadaan miskin.
Al-Hafizh Ibnu Katsir menceritakan bahwa Umar bin Abdul Aziz, yang kemudian menjadi khalifah beberapa tahun berikutnya, berkata:
“Aku tidak sedikitpun merasa iri terhadap Al-Hajjaj si musuh Allah itu, kecuali terhadap sikapnya yang cinta kepada Al-Qur’an dan sikap pemurahnya terhadap ahli al-Qur’an, serta ucapannya sebelum meninggal, “Ya Allah ampunilah aku, sesungguhnya manusia menyangka bahwa Engkau tidak bertindak[1].”
— Al-Bidayah wa An-Nihayah, 9/158)
KESIMPULAN
Adalah keliru jika kekuasaan kalau ingin mempertahankan kekuasaannya harus menggunakan “tangan besi” dengan memaksa rakyat banyak untuk tunduk dan patuh pada kekuasaan dan pemerintahan. Sayangnya bani Umayyah justru lebih memilih opsi pendekatan dengan tangan besi daripada pendekatan opsi kesabaran dan kelembutan sebagaimana yang sudah di contohkan oleh Umar bin Abdul aziz yang memerintah pasca kematian Hajjaj bin yusuf. Namun, sayangnya pemerintahan beliau tidak berlangsung lama karena beliau keburu wafat dan di duga diracun oleh keluarga bani umayyah yang tidak suka dengan gaya kepemimpinan Umar.
Pendekatan tangan besi tidak ada yang berlangsung lama, sebab cara seperti itu hanya makin menambah banyak kelompok orang yang sakit hati dan dendam hingga menyusun kekuatan untuk merebut kekuasaan dengan cara apapun sebagaimana yang terjadi pada bani Umayyah pasca kematian Umar bin abdul aziz kekhalifahan di pimpin oleh orang-orang lemah yang tidak kompeten.
Hal ini adalah kesempatan emas bagi para pemberontak terutama klan bani Abbas yang akhirnya berhasil menumpas habis sisa sisa kekuatan bani Umayyah di Damaskus tahun 132 H.
Setelah itu Bani Umayyah berakhir lah kekuasaannya dan kemudian pemerintahan islam di pimpin oleh klan bani Abbasiyah yang berpusat di Baghdad Irak.
Wallahualam bishowab
Dapatkan artikel terbaru langsung ke email Anda