BASAPA:
TRADISI, PROSESI DAN REKOMENDASI
Oleh: Duski Samad
Ketua Yayasan Islamic Centre Syekh Burhanuddin Padang Pariaman
Berdasarkan catatan kalender masehi Tradisi Basapa ke Makam Syekh Burhanuddin tahun ini adalah yang ke 128, sebab kegiatan Basapa catatan sejarah menunjukkan dimulai tahun 1897 kini 2025 Masehi. Basapa tahun ini akan dilaksanakan pada Hari Rabu 12 Syafar 1447H bertepatan dengan Hari Rabu tanggal 6 Agustus 2025 mendatang.
Ziarah bersama Basapa ini awalnya suka-rinduan yang awalnya tanpa jadwal resmi di kalangan murid-murid dan jamaah Syekh Burhanuddin sejak beliau wafat (1691 M). Namun sekitar 1897 M (1316 H), para ulama pewaris Syekh Kapalo Koto dan Syekh Tuanku Kataping, bersama ninik mamak dan cerdik pandai, menetapkan bahwa Basapa rutin diadakan setiap Rabu setelah 10 Safar.
Wikepedia menuliskan … pada tahun 1315 H beberapa tokoh agama dan adat di wilayah sekitar Pariaman mengadakan pertemuan untuk membahas mengenai jadwal ziarah, beberapa diantaranya adalah Tuanku Syeikh Kapalo Koto dari Pauhkamba dan Tuanku Syekh Katapiang dari Kalampaian Ampalutinggi Kecamatan VII Koto Kabupaten Padang Pariaman. Hal ini dimaksudkan agar waktu berziarah lebih terkoordinir, terlihat syi’arnya paham yang dibawah Syekh Burhanuddin, yakni paham Ahlussunnah waljamah di ranah Minang. Tuanku Syeikh Katapiang juga menyetujui pemikiran tersebut sehingga Tuanku Syekh Kapalo Koto menyebarkan undangan untuk pertemuan yang bakal digelar. Undangan disebarkan kepada para ulama, kadhi, khatib, labai, mufti, dan bilal yang mayoritas adalah pengikut paham Syekh Burhanuddin.
Basapa berasal dari bahasa Minang yang merupakan adaptasi dari bersafar—yaitu ziarah ke makam Syekh Burhanuddin, ulama besar yang menyebarkan Islam di Sumatera Barat. Tradisi ini dilakukan khusus setiap bulan Safar, biasanya setelah tanggal 10 Safar pada hari Rabu, yang diyakini sebagai hari wafatnya pada tahun 1111 H (~1691 M) .
BASAPA TRADISI ZIARAH TAHUNAN
Membaca berbagai literatur dan mendengar penjelasan ulama Syathariyah senior sama pendapatnya bahwa Basapa bukanlah paham atau ajaran yang dibawa oleh Syekh Burhanuddin Ulakan, kecuali ini hanya tradisi yang berawal darl dari insiatif ulama setelah lebih wafatnya Syekh Burhanuddin. Penting menjegaskan bahwa Basapa adalah tradisi ziarah tahunan adalah sebagai ikhtiar dakwah meluruskan sejarah dan menjaga iman umat.
Basapa dikatakan sebagai tradisi karena memenuhi pengertian dan unsur dari tradisi itu sendiri. Tradisi adalah kebiasaan, nilai, atau praktik yang diwariskan dari generasi ke generasi dalam suatu masyarakat. Tradisi tumbuh dan berkembang dari pengalaman sejarah, kepercayaan, adat istiadat, atau ajaran tertentu yang dianggap penting untuk identitas, keberlanjutan budaya, dan jati diri suatu komunitas.
Tradisi, Ciri dan Fungsinya. Tradisi berasal dari bahasa Latin traditio, yang berarti "menyerahkan" atau "mewariskan." Dalam konteks budaya, tradisi adalah segala bentuk warisan non-material seperti keyakinan dan ajaran (agama, moral, falsafah). Kebiasaan hidup (cara berpakaian, makan, bertutur kata). Upacara dan perayaan (pernikahan, kelahiran, kematian). Seni dan sastra (pantun, cerita rakyat, lagu daerah) dan nilai sosial (gotong royong, musyawarah, penghormatan terhadap orang tua/guru)
Ciri-ciri tradisi diturunkan secara turun-temurun. Mengikat secara sosial dan simbolik. Mengandung nilai-nilai budaya dan moral. Mengalami perubahan atau adaptasi seiring zaman. Bersifat kolektif, bukan pribadi. Fungsi tradisi adalah membentuk identitas sosial dan budaya. Menjadi sarana pendidikan nilai dan moral. Menguatkan solidaritas sosial. Menjaga kesinambungan sejarah dan kepercayaan komunitas
PROSESI, MAKNA, DAN NILAI BUDAYA TRADISI BASAPA
1. Prosesi dan Makna Basapa
Tradisi Basapa memiliki struktur prosesi yang khas dan sarat makna spiritual, mencerminkan hubungan antara murid dengan guru, antara umat dengan ulama pewaris risalah Nabi. Prosesi Basapa umumnya terbagi dalam tiga agenda utama, yang dilakukan secara berurutan oleh para jamaah dan peziarah:
a. Ziarah Surau Gadang Tanjung Ulakan
Ziarah diawali dari surau bersejarah tempat Syekh Burhanuddin Ulakan mengajar dan membina murid-muridnya. Surau ini bukan hanya situs fisik, tetapi juga simbol pembentukan keilmuan dan pusat dakwah awal Islam Syattariyah di Sumatera Barat. Dalam ziarah ini, jamaah melakukan shalat sunah, dzikir, dan membaca manaqib (riwayat hidup) Syekh Burhanuddin sebagai bentuk penghormatan dan tadabbur. Surau Gadang Tanjung Medan sudah menjadi cagar budaya lokasinya adalah sekitar 3 km dari Makam Syekh Burhanuddin.
Mestinya kegiatan yang diwariskan ulama satu abad yang lalu itu untuk menziarah surau sebagai basis pendidikan dan dakwah yaitu Surau Gadang Tanjung Medan ini tetap diperkuat oleh pengikutnya di masa sekarang. Tidak elok jika tradisi menziarahi lembaga pendidikan dan surau tempat dakwah keagamaan itu diabaikan.
b. Kunjungan ke Situs Peninggalan Syekh
Peziarah juga melakukan kunjungan ke lokasi peninggalan sejarah seperti tempat penyimpaan benda purbakala yang oleh masyarakat pengikut Syekh Burhanuddin dan ada yang sudah dicatat oleh Badan Pelestarian Budaya. Kini tempatnya di Surau Pondok. Agenda ini menjadi sarana penguatan literasi sejarah Islam lokal, terutama bagi generasi muda yang ingin mengenal warisan ulama secara nyata dan kontekstual.
c. Ziarah dan Doa Bersama di Makam
Puncak dari Basapa adalah ziarah ke makam Syekh Burhanuddin, yang dilakukan dengan penuh khidmat. Di tempat ini, jamaah membaca tahlil, doa bersama, serta shalat sunah. Aktivitas ini bukan bentuk pengkultusan, melainkan bagian dari penghormatan kepada ulama pewaris ilmu dan akhlak Nabi, sekaligus momentum untuk memperbaharui ikatan ruhani dalam tarekat Syattariyah.
Sejak masa kepemimpinan Bupati Padang Pariaman Muslim Kasim dan dilanjutkan oleh Bupati Ali Mukhni, Suhatri Bur, masa reformasi ini lokasi makam ini sudah ditata dan didirikan masjid megah, MASJID AGUNG SYEKH BURHANUDDIN. Masjid ini ditujukan untuk memudahkan penziarah beribadah, menghindari pengkultusan, mengajak penziarah berdzikir dan shalat di Masjid, tidak di makam yang berpotensi menimbulkan syirik.
Walau menghindari masyarakat awam dari praktik pengkultusan, sinkritis dan praktik tidak sesuai syarak, itu memang tidak mudah, oleh karenanya ulama dan penjaga makam mestinya terus mengingatkan. Menghormati dan memuliakan ulama adalah dengan mengamalkan dan mempraktikkan ajaran dan akhlak Islam yang diajarkannya, bukan dengan cara yang tidak ada nashnya seperti membawa pasir kuburan dan sejenisnya.
2. Tahapan Tradisi Basapa
Tradisi Basapa dilaksanakan dalam dua sesi utama, yang masing-masing memiliki kekhasan partisipasi dan lingkup sosial:
Sapa Gadang: Dilaksanakan pada pekan kedua bulan Safar, merupakan puncak acara dengan jumlah peserta besar yang datang dari berbagai daerah di Indonesia dan bahkan dari luar negeri seperti Malaysia, Thailand, dan Singapura. Sapa Gadang menjadi simbol internasionalisasi dan syiar tarekat Syattariyah.
Sapa Ketek: Diadakan pada pekan ketiga bulan Safar, lebih bersifat lokal dan ditujukan bagi masyarakat sekitar Ulakan Tapakis, Padang Pariaman. Meskipun skalanya lebih kecil, semangat spiritual dan adab penghormatan tetap sama mendalamnya.
3. Nilai Sosial dan Budaya
Basapa tidak hanya mengandung nilai-nilai keagamaan, tetapi juga memiliki dimensi sosial-budaya yang kuat. Prosesi ini memperkuat solidaritas sosial, mempertemukan masyarakat ranah dan rantau, serta mempererat hubungan antarkampung, suku, dan komunitas tarekat.
Lebih dari itu, Basapa sudah waktunya dikelola secara terpadu oleh pemerintah daerah, ninik mamak, tokoh ulama, dan organisasi masyarakat. Kolaborasi ini akan menjadikan Basapa sebagai model pelestarian tradisi berbasis komunitas, sekaligus sebagai bentuk wisata religi yang membawa dampak ekonomi nyata bagi masyarakat setempat. Berbagai produk lokal seperti kuliner khas, kerajinan tangan, dan cenderamata mendapat tempat dalam kegiatan ini, sehingga budaya spiritual bertemu dengan pemberdayaan ekonomi.
4. Status sebagai Warisan Budaya Tak Benda
Sebagai bentuk pengakuan resmi atas nilai sejarah dan budaya yang dikandung, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia menetapkan Tradisi Basapa sebagai bagian dari Warisan Budaya Tak Benda (WBTB) pada tahun 2021. Pengakuan ini tidak hanya meneguhkan posisi Basapa sebagai warisan luhur masyarakat Minangkabau, tetapi juga memperluas tanggung jawab bersama untuk melestarikan, mengembangkan, dan mewariskan nilai-nilai luhur Basapa kepada generasi mendatang.
KESIMPULAN
Tradisi Basapa merupakan ziarah tahunan yang telah berlangsung selama lebih dari satu abad, berakar dari kecintaan murid-murid dan jamaah terhadap Syekh Burhanuddin Ulakan, tokoh sentral penyebar Islam dan Tarekat Syattariyah di Minangkabau. Secara historis, Basapa berkembang dari ziarah spontan menjadi tradisi sosial-keagamaan yang terorganisir sejak tahun 1897, dengan penetapan waktu ziarah setiap Rabu setelah tanggal 10 Safar. Pada tahun 2025, Basapa tercatat telah berlangsung ke-128 kalinya.
Secara substansi, Basapa bukanlah ajaran inti Syekh Burhanuddin, melainkan ekspresi cinta dan penghormatan terhadap warisan keulamaan beliau, sebagaimana diformulasikan dan diwariskan oleh para murid dan ulama pewarisnya seperti Syekh Kapalo Koto dan Tuanku Katapiang. Tradisi ini memenuhi ciri-ciri klasik sebuah tradisi budaya: diwariskan turun-temurun, bersifat kolektif, mengandung nilai moral dan spiritual, serta berperan dalam membentuk identitas komunitas.
Prosesi Basapa terdiri dari tiga bagian utama: Ziarah ke Masjid Tuo Ulakan, sebagai bentuk penghormatan terhadap pusat pembinaan keilmuan. Kunjungan ke situs peninggalan Syekh Burhanuddin, sebagai sarana literasi sejarah Islam lokal, dan ziarah dan doa bersama di makam, sebagai puncak ikatan ruhani antara murid dan guru.
Basapa dilaksanakan dalam dua sesi: Sapa Gadang (berskala nasional dan internasional) dan Sapa Ketek (berskala lokal), yang keduanya menjadi ruang bertemunya spiritualitas, silaturahmi sosial, dan pewarisan budaya.
Dari sisi nilai, Basapa bukan hanya ritual ziarah tetapi juga wadah penguatan solidaritas sosial, revitalisasi literasi sejarah, dan penguatan identitas keislaman masyarakat Minangkabau. Oleh karena itu, perlu ada pengelolaan kolaboratif antara pemerintah, ulama, dan tokoh adat agar tradisi ini tetap relevan, terhindar dari unsur bid'ah yang disalahpahami, serta menjadi model pelestarian tradisi yang berdampak pada ekonomi dan budaya masyarakat lokal.
Pengakuan resmi Tradisi Basapa sebagai Warisan Budaya Tak Benda (WBTB) oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI pada tahun 2021 menjadi penanda penting bahwa Basapa bukan hanya milik komunitas lokal, tetapi bagian dari khazanah budaya nasional yang harus dilestarikan, dimaknai secara kontekstual, dan diwariskan secara visioner kepada generasi penerus umat.
REKOMENDASI STRATEGIS PELESTARIAN TRADISI BASAPA
1. Penguatan Landasan Keilmuan dan Spiritualitas
Menegaskan bahwa Basapa adalah tradisi ziarah, bukan ajaran pokok tarekat dan atau tidak pula ajaran Syekh Burhanuddin Ulakan.
Menyusun modul edukasi dan literasi sejarah Syekh Burhanuddin dan tarekat Syattariyah sebagai panduan resmi jamaah dan generasi muda.
Mendorong pengkajian akademik di sekolah, pesantren, dan perguruan tinggi untuk memperkuat pemahaman yang lurus dan kontekstual terhadap Basapa.
2. Revitalisasi Fungsi Masjid Tuo dan Surau Gadang
Menjadikan Masjid Tuo Ulakan dan Surau Gadang Tanjung Medan sebagai titik utama ziarah berbasis tafaqquh fiddin dan sejarah Islam lokal.
Menyelenggarakan halaqah, tabligh akbar, dan napak tilas keilmuan selama momentum Basapa.
3. Penataan dan Tata Kelola Ziarah yang Terpadu
Membentuk Panitia Basapa Terpadu tahunan yang melibatkan: Pemerintah daerah (Pemkab Padang Pariaman), Ninik mamak dan KAN, Ulama dan tuanku tarekat,Lembaga pendidikan dan tokoh masyarakat.
Menyusun SOP Ziarah yang menekankan adab ziarah, kebersihan, keselamatan, dan penghindaran dari perilaku yang tidak sesuai syariat.
4. Digitalisasi dan Dokumentasi Tradisi
Membuat arsip digital Basapa: video, dokumenter, buku, dan katalog warisan sejarah ulama Syattariyah.
Mengembangkan situs web dan media sosial resmi Tradisi Basapa yang berisi:Jadwal resmi, Tata cara ziarah, dan Edukasi sejarah Syekh Burhanuddin.
5. Penguatan Ekosistem Ekonomi Lokal
Memfasilitasi bazar kuliner, kerajinan, dan souvenir lokal yang terintegrasi dengan lokasi ziarah.
Membangun kios tetap atau area UMKM binaan yang dikelola bersama nagari dan koperasi masyarakat.
Menjadikan Basapa sebagai ikon wisata religi dan budaya Minangkabau yang berkelanjutan.
6. Pendidikan dan Regenerasi Nilai-Nilai Tradisi
Memasukkan konten Basapa, sejarah Syekh Burhanuddin, dan adat ABS-SBK ke dalam kurikulum lokal di sekolah-sekolah dan madrasah di Padang Pariaman.
Menyelenggarakan lomba menulis, menziarahi, atau mendongeng sejarah Basapa untuk pelajar dan mahasiswa.
7. Penguatan Legitimasi dan Jejaring Institusional.
Memperkuat kerja sama dengan: Balai Pelestarian Kebudayaan (BPK), Kementerian Agama dan Kemendikbudristek, Universitas, pesantren, dan ormas Islam.
Menyusun Peraturan Nagari/Perbup tentang Pelestarian Tradisi Basapa sebagai bagian dari regulasi kebudayaan lokal.
Akhirnya ingin ditegaskan tulisan ini hadir sebagai bentuk tanggung jawab spiritual dan cultural untuk menempatkan secara jelas dan tegas bahwa Basapa adalah tradisi baik yang dapat dikembangkan namun tetap harus dijaga kemuliaan ulama yang bermakam disana, Syekh Burhanuddin Ulakan, dan tentu Aqidah umat tetap terjaga sesuai tuntunan Islam. Amin. DS.07072025.
Dapatkan artikel terbaru langsung ke email Anda